mesin pencari

Custom Search

klik sini

Friday, October 3, 2014

Konsep Kerja dalam Islam



Kerja merupakan cara langsung dalam rangka memenuhi tuntutan yang bersifat pembawaan. Menurut al-Faruqiy, manusia memang diciptakan untuk bekerja. Kerjanya adalah ibadahnya. Terhadap mereka yang enggan bekerja al-Faruqiy menyatakan, mereka tidak mungkin menjadi muslim yang baik. Apalagi kalau dikaitkan dengan iman, perbuatan atau kerja islami justeru merupakan manifestasi dan bagian daripadanya. Dengan ungkapan lain, iman adalah landasan, sedangkan perbuatan atau kerja merupakan konsekuensi dan cara melakukannya.
      Sistem keimanan yang membangun aqidah dan melahirkan amal-amal islami, baik yang berkenaan dengan hablumminallah maupun hablumminannas termasuk pelaksanaan tugas menjadi khalifah Allah di muka bumi oleh manusia, semestinya bersumber dari ajaran-ajaran wahyu (al-Qura’an dan al-Hadits). Maka, proses terlahirnya amal-amal itu dapat digambarkan sebagai berikut:
Dari gambar di atas, tampak jelas bahwa amal dan kerja islami ternyata menjadi muara sekaligus pernyataan daris seluruh kawasan tujuan hidup orang islam. Ternyata islam tidak merekomendasikan kehidupan yang hanya mengejar “hasanah” di akhirat dengan cara mengabaikan “hasanah” di dunia. Bahkan ajaran islam menegaskan bahwa mengabaikan keduniaan serta menganggap remeh urusannya adalah sikap negatif, tercela dan keluar dari garis fitrah serta jalur as-sirat al-mustaqim. Oleh karena itu, Rasul melarang cara berpikir anti dunia karena senang pada akhirat.
            Allah juga berfirman dalam Q.S al-Qasas/28:77,
77. dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.
Dari surah di atas dapat diketahui bahwa islam tidak hanya mengajarkan aqidah saja, tetapi mengajarkan syari’ah sebagai tata menjalani kehidupan sesuai dengan al-Qur’an dan al-Hadits. Dengan demikian, dapat diketahui bahwasanya amal atau kerja mempunyai makna urgen bagi setiap manusia, ternyata juga merupakan bukti keimanan orang islam.
Pengertian kerja dalam keterangan di atas, dalam Islam amatlah luas, mencakup seluruh pengerahan potensi manusia. Adapun pengertian kerja secara khusus adalah setiap potensi yang dikeluarkan manusia untuk memenuhi tuntutan hidupnya berupa makanan, pakaian, tempat tinggal, dan peningkatan taraf hidup.
Inilah pengertian kerja yang bisa dipakai dalam dunia ketenaga-kerjaan dewasa ini, sedangkan bekerja dalam lingkup pengertian ini adalah orang yang bekerja dengan menerima upah baik bekerja harian, maupun bulanan dan sebagainya.
            Pada hakikatnya, pengertian kerja semacam ini telah muncul secara jelas, praktek mu’amalah umat Islam sejak berabad-abad, dalam pengertian ini memperhatikan empat macam pekerja :
1) al-Hirafiyyin; mereka yang mempunyai lapangan kerja, seperti penjahit, tukang kayu, dan para pemilik restoran. Dewasa ini pengertiannya menjadi lebih luas, seperti mereka yang bekerja dalam jasa angkutan dan kuli.
2) al-Muwadzofin: mereka yang secara legal mendapatkan gaji tetap seperti para pegawai dari suatu perusahaan dan pegawai negeri.
3) al-Kasbah: para pekerja yang menutupi kebutuhan makanan sehari-hari dengan cara jual beli seperti pedagang keliling.
4) al-Muzarri’un: para petani.
Pengertian tersebut tentunya berdasarkan teks hukum Islam, diantaranya hadis rasulullah SAW dari Abdullah bin Umar bahwa Nabi SAW bersabda, berikanlah upah pekerja sebelum kering keringat-keringatnya. (HR. Ibn Majah, Abu Hurairah, dan Thabrani).
Pendapat atau kaidah hukum yang menyatakan : “Besar gaji disesuaikan dengan hasil kerja.” Pendapat atau kaidah tersebut menuntun kita dalam mengupah orang lain disesuaikan dengan porsi kerja yang dilakukan seseorang, sehingga dapat memuaskan kedua belah pihak.
     Disamping kewajiban bekerja akan mendapatkan pahala, juga Allah Swt menjanjikan akan mengampuni dosa-dosanya kaum muslimin. Dalam hal ini terdapat hadits yang diriwayatkan oleh imam Ahmad sebagai berikut : “Barangsiapa yang pada malam hari merasakan kelelahan dari upaya keterampilan kedua tanganya pada siang hari maka pada malam itu ia diampuni”. Demikian halnya terdapat hadits berikutnya yang diriayatkan oleh imam Abu Nu’aim bahwa Rasulullah Saw pernah bersabda : “ Sesungguhnya diantara perbuatan dosa ada dosa yang tidak bisa terhapus (ditebus) oleh (pahala) shaum dan sholat. “Ditanyakan pada Beliau, Apakah yang dapat menghapuskanya, ya Rasulullah?” Jawab Rasul Saw: “Kesusahan (bekerja) dalam mencari nafkah kehidupan”.
Aspek Pekerjaan dalam Islam
Aspek pekerjaan dalam Islam meliputi empat hal yaitu :
· Memenuhi kebutuhan sendiri
Islam sangat menekankan kemandirian bagi pengikutnya. Seorang muslim harus mampu hidup dari hasil keringatnya sendiri, tidak bergantung pada orang lain.  Hal ini diantaranya tercermin dalah hadist berikut :
عن أبي عبد الله الزبير بن العوام رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: لأن يأخذ أحدكم أحبله ثم يأتي الجبل، فيأتي بحزمةٍ من حطبٍ على ظهره فيبيعها، فيكف الله بها وجهه، خيرٌ له من أن يسأل الناس،أعطوه أو منعوه. رواه البخاري.
Dari Abu Abdillah yaitu az-Zubair bin al-Awwam r.a., katanya: “Rasulullah s.a.w. bersabda: “Niscayalah jikalau seseorang dari engkau semua itu mengambil tali-talinya – untuk mengikat – lalu ia datang di gunung, kemudian ia datang kembali – di negerinya – dengan membawa sebongkokan kayu bakar di atas punggungnya, lalu menjualnya,kemudian dengan cara sedemikian itu Allah menahan wajahnya – yakni dicukupi kebutuhannya, maka hal yang semacam itu adalah lebih baik baginya daripada meminta-minta sesuatu pada orang-orang, baik mereka itu suka memberinya atau menolaknya.” (Riwayat Bukhari)
Rasullullah memberikan contoh kemandirian yang luar biasa, sebagai pemimpin nabi dan pimpinan umat Islam beliau tak segan menjahit bajunya sendiri, beliau juga seringkali turun langsung ke medan jihad, mengangkat batu, membuat parit, dan melakukan pekerjaan-pekerjaan lainnya.
Para sahabat  juga memberikan contoh bagaimana mereka bersikap mandiri, selama sesuatu itu bisa dia kerjakan sendiri maka dia tidak akan meminta tolong orang lain untuk mengerjakannya. Contohnya, ketika mereka menaiki unta dan ada barangnya yang jatuh maka mereka akan mengambilnya sendiri tidak meminta tolong lain.
·         Memenuhi kebutuhan keluarga
Bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang menjadi tanggungannya adalah kewajian bagi seorang muslim, hal ini bisa dilihat dari hadist berikut :
قال رسول الله(صلى الله عليه وسلم):” كفى بالمرء إثماً أن يضيع من يقوت” رواه أحمد وأبو داود وصححه الحاكم وأقره الذهبي من حديث عبدالله ابن عمرو بن العاص

Rasulullah saw bersabada, “Cukuplah seseorang dianggap berdosa jika ia menelantarkan orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya”. (HR. Ahmad, Abu Daud dan al-Hakim)
Menginfaqkan harta bagi keluarga adalah hal yang harus diutamakan, baru kemudian pada lingkungan terdekat, dan kemudian lingkungan yang lebih luas.

·Kepentingan seluruh makhluk
Pekerjaan yang dilakukan seseorang bisa menjadi sebuah amal jariyah baginya, sebagaimana disebutkan dalam hadist berikut :
 عن أنس قال النبي صلى الله عليه وسلم : ” ما من مسلم يغرس غرسا أو يزرع زرعا فيأكل منه طير أو إنسان أو بهيمة إلا كان له به صدقة “
 Dari Anas, Rasulullah saw bersabda, “Tidaklah seorang mukmin menanam tanaman, atau menabur benih, lalu burung atau manusia atau hewan pun makan darinya kecuali pasti bernilai sedekah baginya”. (HR Bukhari)
Dalam era modern ini banyak sekali pekerjaan kita yang bisa bernilai sebagai amal jariyah. Misalnya kita membuat aplikasi atau tekhnologi yang berguna bagi umat manusia. Karenanya umat Islam harus cerdas agar bisa menghasilkan pekerjaan-pekerjaan yang bernilai amal jariyah.
·         Bekerja sebagai wujud penghargaan terhadap pekerjaan itu sendiri
Islam sangat menghargai pekerjaan, bahkan seandainya kiamat sudah dekat dan kita yakin tidak akan pernah menikmati hasil dari pekerjaan kita, kita tetap diperintahkan untuk bekerja sebagai wujud penghargaan terhadap pekerjaan itu sendiri. Hal ini bisa dilihat dari hadist berikut :
عن أنس رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : ” إن قامت الساعة و في يد أحدكم فسيلة فإن استطاع أن لا تقوم حتى يغرسها فليغرسها".
Dari Anas RA, dari Rasulullah saw, beliau bersabda, “Jika hari kiamat terjadi, sedang di tanganmu terdapat bibit tanaman, jika ia bisa duduk hingga dapat menanamnya, maka tanamlah “ (HR Bukhari dan Muslim.
Posisi Kerja
a). Kerja dan Eksistensi Manusia
Menurut pandangan islam, kerja merupakan sesuatu yang digariskan bagi manusia. Dengan bekerja manusia mampu memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhiratnya. Agama juga menjadikan kerja sebagai sarana pendekatan diri kepada Allah. Amat jelas bahwa kerja mempunyai makna eksistensial dalam menunjukkan kehidupan orang islam. Karena berhasil/gagalnya dan tinggi/rendahnya kualitas hidup seseorang ditentukan oleh amal dan kerjanya.[4]
            “Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya.” (QS. Al-Kahfi/18:7). Dengan demikian, lulus/tidaknya manusia dalam menghadapi ujian hidup di dunia ini dapat dilihat dari amal atau kerja yang telah dilakukan. Apalagi manusia diberikan tugas sebagai khalifah yang bertugas sebagai pemakmur bumi. Hal tersebut merupakan tugas besar yang jika tidak dikerjakan dengan sungguh-sungguh, mustahil rasanya bila amanah tersebut dapat dilaksanakan.
            Manusia yang eksis muncul karena kerja dan kerja itulah yang membentuk eksistensi kemanusiaan. Pandangan ini sejalan dengan salah satu inti sari dari QS. An-Najm/53:39 yang menjelaskan bahwa manusia tidak akan memperoleh suatu apapun tanpa usaha yang ia lakukan sendiri. Dengan bekerja, manusia memperoleh sebuah peran dalam mempertahankan penghidupannya. Bekerja yang baik adalah bekerja sesuai kemampuan yang dimiliki masing-masing individu.
b).  Dari Iman sampai Kerja
Perlu diperhatikan bahwa Allah bila menyebut perkataan, الذين أمنوا  dalam ayat-ayat al-Qur’an selalu menyambungnya dengan وعملوا الصالحات.  Hal tersebut mengisyaratkan bahwa iman harus disertai amal saleh atau pekerjaan baik. Amal saleh adalah penjelmaan dari iman. Iman yang tidak melahirkan amal saleh dapat disebut iman yang mandul. Maka, islam menghubungkan aqidah dengan perilaku yang dituntutnya secara mutlak. Sehingga iman atau aqidah memancar, mengarahkan dan berpengaruh amat positif tehadap perilaku pemiliknya.
            Menurut Isa ‘Abduh dan Ahmad Isma’il Yahya, ada tiga cara untuk mewujudkan kinerja yang baik, yaitu:
1.      Kerja yang dilandasi taqwa.
2.      Iklim dan suasana kerja yang tenang dan kondusif.
3.    Didukung oleh ilmu pengetahuan terkait dengan bidang pekerjaan, dan bersangkutan selalu berusaha menambah ilmunya.[5]
Jadi, kerja atau amal didukung oleh kesehatan dan ilmu pengetahuan, yang secara dinamis merupakan bagian urgen dan sistematis dari iman sampai ke amal saleh. Ketiganya (iman, amal dan ilmu) secara organis berhubungan amat erat.

c).  Kerja dan Tanggung Jawab
Sehubungan dengan kerja dan tanggung jawab, rasulullah saw. pernah menegaskan , “masing-masing kamu adalah pengembala, dan setiap pengembala bertanggung jawab atas gembalaannya....”. dalam hadits tersebut dapat dipahami bahwa Allah memberikan tanggung jawab kepada manusia sebagai khalifah di bumi.
Bekerja demi terselenggaranya “ma’isyah” atau penghidupan yang baik merupakan kewajiban. Keharusan kerja bagi manusia mencapai tingkat “tugas istimewa” hingga keengganan mereka untuk bekerja bukan sekedar maksiat yang merugikan orang yang bersangkutan saja. Kerja disukai oleh Allah dan Rasul-Nya bila kerja itu dilaksanakan sungguh-sungguh dilandasi niat mencari ridho-Nya.

d).  Hukum Bekerja dan Beretos Kerja Tinggi
Terdapat sejumlah firman Allah yang berkaitan dengan perintah bekerja kepada orang-orang yang beriman, antara lain, “Dia yang menjadikan bumi mudah bagimu, maka berjalanlah ke berbagai penjuru bumi dan makanlah sebagian dari rizki Allah...” (QS. Al-Mulk/67:15). Ayat ini mengandung perintah langsung agar manusia giat bekerja dan menghindari bermalas-malasan. Bekerja untuk memperoleh rizki guna menunaikan nafkah keluarga adalah sebuah amanah yang harus ditunaikan.
Berdasarkan kaidah syar’iyyah, “sesuatu amal wajib yang tidak tertunaikan, tidak sah tanpa dilakukannya sesuatu itu, konsekuensi logisnya sesuatu itu ikut menjadi wajib hukumnya”. Dengan demikian, bekerja guna memenuhi kebutuhan anak dan keluarga sebagaimana tersebut di atas hukumnya pun menjadi wajib, kalau tanpa kerja, amanah berupa anak dalam keluarga akan terlantar, amanah itu lalu tidak dapat dipenuhi sebagimana mestinya.
Islam menempatkan posisi kerja pada posisi sentral yang berhubungan erat bahkan tidak terpisahkan dari keimanan. Dengan demikian, hukum bekerja dalam islam adalah setara dengan wajib, manakala sesuatu yang mensyaratkan merupakan sesuatu yang hukumnya wajib.

d).  Etika kerja
Etika di sini bukan sekedar etiket dalam artian bahwa sesuatu yang bersifat formalitas yang mengikat. Etika di sini lebih condong pada karakteristik yang muncul akibat dari bekerja. Ada dua pola hubungan yang muncul dari etika kerja islami sebagai tata cara menumbuhkan akhlak islami dalam bekerja, yaitu: hablumminannas dan hablumminallah.
Dalam disertasinya, Said Mahmud mengemukakan, ada dua syarat mutlak suatu pekerjaan yang dapat digolongkan sebagai amal saleh, yaitu: 1. Husnul fa’iliyah, yakni lahir dari keikhlasan niat pelaku; dan 2. Husnul fi’iliyah, maksudnya pekerjaan itu memiliki nilai-nilai kebaikan berdasarkan kriterian yang ditetapkan oleh syara’, sunnah nabi, atau akal sehat. Keduanya di samping menjadi syarat amal saleh sebagaimana disebut di atas, ternyata juga menjadi dasar dan jiwa etika kerja islami yang bersifat khas.

Fungsi Kerja
· 
 Kerja Sebagai Sumber Nilai
Islam menjadikan kerja sebagai sumber nilai insan dan ukuran yang tanggungjawab berbeza. Firman Allah bermaksud:
"Dan bahawa sesungguhnya tidak ada balasan bagi seseorang itu melainkan balasan apa yang diusahakan".(al-Najm: 39)
Firman-Nya lagi bermaksud:
"Dan bagi tiap-tiap seseorang beberapa darjat tingkatan balasan disebabkan amal yang mereka kerjakan dan ingatlah Tuhan itu tidak lalai dari apa yang mereka lakukan". (al-An'am: 132)
Kerja sebagai sumber nilai manusia bererti manusia itu sendiri menentukan nilai atau harga ke atas sesuatu perkara itu. Sesuatu perkara itu pada zatnya tidak ada apa-apa nilai kecuali kerana nisbahnya kepada apa yang dikerjakan oleh manusia bagi menghasil, membuat, mengedar atau menggunakannya. Kerja juga merupakan sumber yang objektif bagi penilai prestasi manusia berasaskan segi kelayakan. Oleh yang demikian Islam menentukan ukuran dan syarat-syarat kelayakan dan juga syarat-syarat kegiatan bagi menentukan suatu pekerjaan atau jawatan itu supaya dapat dinilai prestasi kerja seseorang itu. Dengan cara ini, Islam dapat menyingkirkan perasaan pilih kasih dalam menilai prestasi seseorang sama ada segi sosial, ekonomi dan politik.
·    
Kerja Sebagai Sumber Pencarian
Islam mewajibkan setiap umatnya bekerja untuk mencari rezeki dan pendapatan bagi menyara hidupnya. Islam memberi berbagai-bagai kemudahan hidup dan jalan-jalan mendapatkan rezeki di bumi Allah yang penuh dengan segala nikmat ini. Firman-Nya bermaksud:
"Dan sesungguhnya Kami telah menetapkan kamu (dan memberi kuasa) di bumi dan Kami jadikan untuk kamu padanya (berbagai-bagai jalan) penghidupan."(al-A'raf: 168)
Dan firman-Nya lagi bermaksud:
"Dialah yang menjadikan bumi bagi kamu mudah digunakan, maka berjalanlah di merata-rata ceruk rantaunnya, serta makanlah dari rezeki yang dikurniakan Allah dan kepada-Nya jualah dibangkitkan hidup semula." (al-Mulk: 15)
Islam memerintahkan umatnya mencari rezeki yang halal kerana pekerjaan itu adalah bagi memelihara maruah dan kehormatan manusia. Firman Allah bermaksud:
"Wahai sekalian manusia, makanlah dari apa yang ada di muka bumi yang halal lagi baik". (al-Baqarah: 168)
Sabda Nabi (s.a.w) bermaksud: "Mencari kerja halal itu wajib atas setiap orang Islam."
Oleh yang demikian Islam mencela kerja meminta-minta atau mengharapkan pertolongan orang lain kerana ianya boleh merendahkan harga diri atau maruah. Dalam sebuah hadis Rasulullah (s.a.w) bermaksud:
"Bahawa sesungguhnya seseorang kamu pergi mengambil seutas tali kemudian mengikat seberkas kayu api lalu menjualnya hingga dengan sebab itu ia dapat memelihara harga dirinya, adalah lebih baik daripada ia pergi meminta-minta kepada orang sama ada mereka rnemberinya atau menolaknya."
·        
 Kerja Sebagai Asas Kemajuan Umat
Islam mewajibkan kerja untuk tujuan mendapatkan mata pencarian hidup dan secara langsung mendorongkan kepada kemajuan sosioekonomi. Islam mengambil perhatian yang bersungguh-sungguh terhadap kemajuan umat kerana itu ia sangat menekankan kemajuan di peringkat masyarakat dengan menggalakkan berbagai kegiatan ekonomi sama ada di sekitar pertanian, perusahaan dan perniagaan. Dalam hadis Rasulullah (s.a.w) sangat ketara dorongan ke arah kemajuan ekonomi di sektor tersebut, sebagai contoh :

1. Di bidang Pertanian
Sabda Rasulullah s.a.w bermaksud:
"Tidaklah seseorang mukmin itu menyemai akan semaian atau menanam tanaman lalu dimakan oleh burung atau manusia melainkan ianya adalah menjadi sedekah".
2. Di bidang Perusahaan
Sabda Rasulullah s.a.w. bermaksud:
"Sebaik usaha ialah usaha seorang pengusaha apabila ia bersifat jujur dan nasihat- menasihati.
3. Di bidang Perniagaan
Rasulullah (s.a.w) pernah meletakkan para peniaga yang jujur dan amanah kepada kedudukan yang sejajar dengan para wali, orang-orang yang benar, para syuhada' dan orang-orang soleh dengan sabda bermaksud:
"Peniaga yang jujur adalah bersama para wali, orang-orang siddiqin, para syuhada' dan orang-orang soleh".
Baginda juga menyatakan bahawa sembilan persepuluh daripada rezeki itu adalah pada perniagaan.

3 comments:

klik ini

Entri Populer seminggu