Pada saat mencuat kasus pasangan muda MBA (Married by Accident), yang
muncul terlebih dahulu bisa dipastikan adalah cemoohan, ejekan, mungkin juga
makian. Dari sekian banyak kasus2 hamil sebelum nikah yang pernah saya
perhatikan, dari mulai bisikan2, gunjingan sampai cercaan terbuka terlontar
dari masyarakat. Tidaklah mengherankan di mana masyarakat merasa ada hal yang
kurang selaras dengan kepercayaan mereka dan norma2 adat. Tidak di Indonesia,
tidak di US ,
hal seputar kasus hamil sebelum nikah sebenarnya sama. Sekitar tahun 50-an,
seorang wanita muda lajang yang memiliki anak di luar nikah akan dijadikan
bulan2an oleh masyarakat sekitarnya. Kebanyakan dari mereka akhirnya memutuskan
untuk melarikan diri sampai melahirkan. Atau bagi mereka yang sudah merasa
putus asa, menggugurkan kandungan mereka, selain pilihan memberikan anaknya
untuk diadopsi.
Dari permasalahan hamil sebelum nikah tersebut akhirnya mencetuskan
gagasan untuk membuat tempat perlindungan bagi wanita2 muda ini. Gagasan itu
yang memulainya justru dari pihak gereja. Karena mereka beranggapan jalan
terbaik bagi wanita2 muda ini adalah memaafkan mereka dan berusaha membantu
mereka memulai hidup baru. Beberapa gereja memelihara dan menjaga wanita2 muda
tersebut dan menyarankan mereka untuk memberikan bayi2 mereka guna diadopsi.
Hal demikian masih berlangsung sampai sekarang. Peraturan adopsi pun
disesuaikan dengan perkembangan jaman, terutama sekarang dengan adanya DNA,
memungkinkan seorang anak mencari ibu kandungnya. Dan adanya tengang waktu bag
si ibu untuk berubah pikiran kalau2 dia ingin anaknya kembali.
Yang saya ingin ketengahkan di sini adalah apakah ada lembaga semacam di
atas di Indonesia
yang bisa membantu wanita2 muda ini menjalani hidupnya. Sebagian besar dari
wanita2 yang mengalami MBA adalah kaum remaja yang masih banyak kesempatan yang
bisa jalani. Hanya karena mereka hamil, mereka diharuskan berhenti sekolah. Di
samping karena rasa malu, juga karena peraturan sekolah yang mengharuskan murid2
wanitanya "bebas" dari perkara anak. Saya ingat dulu ada adik kelas
yang diberitakan hamil dan mesti keluar dari sekolah. Saat itu dia masih kelas
2 SMA dan dengan paksa orang tuanya memindahkan dia ke propinsi lain. Padahal
pacarnya yang juga masih SMA itu ingin menikahinya dan bertangung jawab.
Terjadilah kucing2an antara si pacar dengan orang tuanya si wanita. Hal ini
yang suka membuat saya bingung, kenapa tidak dilegalkan saja hubungan mereka.
Toh kasarnya, nasi sudah jadi bubur, kenapa harus dihalang2i?
Memperhatikan beberapa ibu tunggal yang harus menghidupi anaknya yang
beberapa dari mereka adalah ibu kawan anak2 saya di sekolah, membuat saya
berpikir dalam. Jenny (nama samaran) hamil saat dia masih SMA. Dia memutuskan
untuk membesarkan anaknya sendiri sembari menjalani hidupnya yang sempat
tertinggal. Sang bapak dari anaknya, meskipun cukup baik hubungannya dengan
anaknya, tapi tidak mau berhubungan dengan si ibu & anak lebih dekat. Jenny
mengikuti kelas malam untuk mengejar ketingalan SMAnya dan mendapatkan diploma
SMA. Sementara itu dia bekerja sebagai pelayan di sebuah restoran. Saat dia
bekerja dan bersekolah, ibunya yang menjaga putrinya. Enaknya di US , bagi mereka
yang ketinggalan dalam hal sekolahnya ada program di bawah state yang dapat diikuti
supaya mereka bisa menyelesaikan sekolah dan memperoleh diploma. Di beberapa
adult education diadakan program GED atau persamaan sekolah. Di beberapa
perguruan tinggi diadakan sekolah malam (night school disebutnya bukan program
extension) dan banyak dari lulusannya mendapatkan pekerjaan yang baik. Mengenai
penitipan anak terutama bagi wanita2 muda yang berusaha menyelesaikan
sekolahnya sambil bekerja juga dimudahkan oleh pemerintah state. Program
seperti Head Start memungkinkan mereka untuk menitipkan anak2 mereka tanpa
bayar atau bayaran minimum.
Perhatian yang timbul akibat kasus MBA sebetulnya masih salah tempat.
Karena gembar-gembor dosa atau menyalahkan pihak orang tua bukanlah jawaban
dari permasalahan yang timbul. Karena meskipun pasangan muda, terutama si
wanitanya, ini bakal memiliki anak, mereka masih berhak mendapatkan pendidikan
lebih lanjut. Demikian juga kesempatan untuk mendapatkan pelatihan bagaimana
caranya merawat bayi dan anak, tentunya sangat berguna bagi mereka. Segi
kesehatan juga harus sangat diperhatikan apalagi jika si wanitanya masih remaja
belia. Kemungkinan besar bayi yang dilahirkan mengalami kekurangan atau cacat
dapat terjadi, akibat usia ibu yang masih sangat muda. Dalam suatu masyarakat
semestinya ada peran untuk membantu dan mengulurkan tangan bagi pasangan muda
tersebut. Ya, memang mereka berbuat salah, tapi bukan berarti mereka harus
disalahkan terus2an tanpa ampun.
Di bawah tekanan yang bertubi2 dari pihak orang tua dan juga masyarakat,
seseorang bisa kalap dan melakukan kejahatan. Dari mulai aborsi baik yang
sukarela maupun yang paksa sampai pembunuhan. Seperti halnya yang terjadi
beberapa tahun lalu di kompleks perumahan orang tua saya. Sewaktu mendengar
pacarnya hamil, si A merasa terdesak karena takut akan orang tuanya dan
anggapan masyarakat. Lalu dia membunuh pacarnya dan menyembunyikan jenazahnya.
Dalam kasus aborsi paksa, si wanita muda juga yang akhirnya menjadi korban yang
mengakibatkan kematian atau cacatnya organ reproduksinya. Hal2 berlatar
belakang MBA juga menghasilkan beberapa kasus pembuangan bayi. Kalau bayi2 itu
diberikan kepada pihak panti asuhan lebih baik daripada dibuang semena2. Tapi
di bawah pandangan masyarakat, seseorang bisa berpikir egois dan mementingkan
perkaranya sendiri. Kalau sudah begini, bukankah tugas masyarakat sebenarnya
untuk mengatasi meningkatnya kasus MBA dan kalau bisa mencari jalan keluarnya
untuk pihak2 yang berkaitan. Jangan cuma bisa menuduh, menuding dan
menyalahkan. Kenapa tidak dengan memaafkan terlebih dahulu, turut membantu
dalam hal pendidikan, pengadaan lapangan kerja dan terutama tetap menjadi
kawan, tetangga atau saudara mereka.
No comments:
Post a Comment