Keduanya menghentikan kuda di hadapan seorang laki-laki tua yang tengah mencabuti
rumput halaman. Tanpa turun dari kudanya Kalingundil bertanya dengan membentak
kasar.
“Ini rumahnya Ranaweleng?”
Orang tua itu berdiri perlahan-lahan dari jongkoknya. Ketika berdiri nyatalah
bahwa tubuhnya pendek dan bongkok. Ditengadahkannya kepalanya dan dikeataskannya
topi bambu yang menutupi keningnya untuk dapat melihat orang yang telah bicara
dengan membentak itu kepadanya. Orang tua ini tak segera memberikan jawaban
melainkan melirik kepada Saksoko yang duduk di atas punggung kuda di sisi kanan
Kalingundil.
“Orang tua bego!” maki Kalingundil. Laki-laki bertubuh tinggi langsing ini
memang bersifat tidak sabaran. “Aku tanya ini rumahnya Ranaweleng?!”
“Ya!” jawab orang tua itu.
“Ada keperluan apa saudara?”
Si gemuk pendek Saksoko kini yang buka suara. Suaranya parau dan tak enak
didengar. “Tak perlu tanya keperluan kami. Kamu orang tua pikun minggirlah!”
Saksoko menyentakkan tali kekang kudanya. Sekali kuda itu menghambur ke
depan maka terpelantinglah si orang tua kena terjakan kaki binatang yang ditunggangi
Saksoko itu!
Orang tua itu bangun dengan perlahan-lahan. Matanya yang mengabur dimakan
umur kelihatan menyorot. Dengan kaki kirinya ditendangnya secara acuh tak acuh topi
bambunya yang tergeletak di tanah.
Topi itu melesat ke muka laksana anak panah cepatnya dan menghantam
kemaluan kuda yang ditunggangi oleh Saksoko. Kuda jantan itu meringkik dahsyat.
Kedua kaki depannya melonjak ke atas tinggi-tinggi dan Saksoko terpelanting ke tanah!
Si orang tua diam-diam merasa puas. Dengan sikap seperti tidak terjadi apa-apa
dia memutar tubuh, jongkok kembali dan mulai lagi mencabuti rerumputan di halaman!
Bola mata laki-laki gemuk pendek itu berpijar-pijar. Untuk beberapa lamanya
segala sesuatunya menjadi guram dalam pemandangannya.ഊ“Saksoko, ada apa dengan kau?!” tanya Kalingundil terkejut dan heran.
“Aku sendiri tidak tahu,” sahut Saksoko seraya bangun dengan menepuk-nepuk
pantat celananya. Dia memandang berkeliling. Tak ada siapa-siapa kecuali orang tua
yang tadi tengah mencabuti rumput. Kemudian mata laki-laki ini membentur topi bambu
yang terletak tak berapa jauh di tanah. Hatinya curiga. Tapi bila dilihatnya lagi orang tua
kurus dan bongkok itu kecurigaannya menjadi sirna. Tak mungkin, pikirnya. Tak
mungkin kalau kakek-kakek pikun itulah yang telah melemparkan topi bambu itu ke kuda
tunggangannya.
Kalingundil sendiri juga memandang berkeliling dengan hati bertanya-tanya.
Dilihatnya orang tua itu. Dilihatnya topi itu. Kemudian dia berkata:
“Kurasa orang tua kerempeng itu….” Kalingundil memang lebih tajam
penglihatan dan perasaannya. Dalam ilmu silatpun dia lebih tinggi dua tingkat dari
Saksoko.
“Mana mungkin,” kata Saksoko pula tidak percaya.
“Coba kita lihat.”
Kalingundil turun dari kudanya. Diambilnya topi yang terletak di tanah.
Diperhatikannya topi bambu ini seketika. Matanya melirik pada orang tua yang masih
jongkok dan mencabuti rumput dekat pagar halaman. Kalingundil menggerakkan tangan
kanannya. Topi terlepas dari tangan itu dan melesat deras ke arah kepala si orang tua.
Begitu acuh tak acuh sekali, orang tua yang jongkok membelakang itu gerakkan
tangan kanannya untuk menggaruk bagian belakang kepalanya. Dan adalah mengejutkan
kedua orang anak buah Mahesa Birawa atau Suranyali ketika mereka melihat bagaimana
topi bambu itu meleset ke samping dan menggelinding di tanah!
Kalingundil dan Saksoko saling pandang.
“Apa kataku, kau lihat?” desis Kalingundil.
Melihat kenyataan ini maka geramlah si gemuk pendek Saksoko.
“Orang tua edan!” makinya. “Punya sedikit ilmu saja sudah mau kasih pamer!”
Dia membungkuk dan meraup pasir. Raupan pasir itu dilemparkannya ke arah orang tua.
Meski hanya pasir namun karena diisi dengan tenaga dalam maka pasir itu melesat hebat
dan dapat melukakan kulit membutakan mata!ഊSi orang tua tiba-tiba berdiri dan terbungkuk-bungkuk. Ditepuk-tepuknya pakaian
hitamnya seperti seseorang yang tengah membersihkan debu dari pakaiannya. Tapi
gerakannya ini sekaligus membuat berhamburannya pasir-pasir halus yang menyerang ke
arahnya!
“Kurang ajar betul!” damprat Saksoko karena merasa semakin ditantang dan
dipermainkan. Dia menerjang ke muka. Dalam jarak beberapa tombak dilepaskannya
pukulan tangan kosong. Orang tua itu memutar badannya yang bungkuk ke samping.
“Apa-apaan ini?!” tanyanya dengan suaranya yang halus melengking, “ada apa
kau serang aku?!”
Namun gerakannya tadi sekaligus telah melewatkan angin pukulan Saksoko
hanya beberapa jengkal saja di depan hidungnya.
Saksoko kertak rahang.
“Orang tua gelo! Siapa kau sebetulnya?!”
Orang tua itu menyeringai menunjukkan gusinya yang tidak bergigi barang
sepotong pun.
“Aku sudah tua, tak usah bicara memaki!” katanya dan didorongkannya telapak
tangan kanannya ke depan. Setiup angin dahsyat melanda tubuh Saksoko. Kalau tidak
cepat-cepat menghindar pastilah si gemuk pendek ini akan mendapat celaka.
Begitu melompat ke samping segera dia kirimkan satu jotosan ke dada orang tua
itu. Pada saat inilah dari pintu terdengar seruan keras:
“Ada apa ini?! Tahan!”
Saksoko tarik pulang tangannya dan berpaling. Seorang laki-laki muda berparas
gagah dilihatnya keluar dari rumah dan berdiri di tangga langkan. Kemudian dilihatnya
Kalingundil memberi isyarat agar datang mendekatnya. Meski hatinya masih diselimuti
amarah terhadap si orang tua tapi melihat isyarat kawannya itu segera dia datang juga.
Keduanya melangkah ke hadapan langkan rumah.
“Kau Ranaweleng?” tanya Kalingundil membentak.
Selama menjadi Kepala Kampung di Jatiwalu baru ini harilah Ranaweleng
dibentak orang demikian rupa dan oleh orang asing pula! Dari tampang-tampang serta
sikap kedua tamunya itu Ranaweleng segera maklum bahwa mereka tentu datang bukan
membawa maksud baik. Namun demikian dengan suara ramah dia menjawab.ഊ“Betul! Saudara, aku memang Ranaweleng,” lalu tanyanya kemudian. “Saudara-saudara
datang dari mana dan ada keperluan apakah?”
Kalingundil cabut gulungan surat dari balik pakaiannya.
“Ini! Silahkan baca!” katanya.
Gulungan surat itu dilemparkan ke hadapan Ranaweleng. Karena lemparan itu
disertai dengan aliran tenaga dalam maka surat tersebut melesat berdesing dan ujung
kayu di mana surat itu disepit menancap pada tiang langkan!
Ranaweleng kaget. Ditekannya rasa kaget itu dan dicabutnya surat yang
menancap dari tiang langkan lalu dibacanya. Kalingundul dan Saksoko
memperhatikannya dengan bertolak pinggang.
Ranaweleng keparat!
Aku kasih tempo satu hari untukmu agar angkat kaki dari Jatiwalu ini! Bawa
anakmu tapi tinggalkan isterimu! Ini adalah perintah! Kalau kau tidak patuhi, jangan
harap kau bisa melihat matahari tenggelam esok hari! Ini adalah perintah!
Mahesa Birawa
Bergetar sekujur tubuh Ranaweleng. Dadanya panas dikobari luapan hawa
amarah. Dia tak pernah kenal dengan manusia yang bernama Mahesa Birawa itu, bahkan
juga tak pernah dengar nama atau riwayat manusia itu sebelumnya.
Matanya memandang melotot pada kedua tamunya. “Mahesa Birawa ini siapa?”
tanya Ranaweleng.
Kalingundil meludah dahulu ke tanah sebelum menjawab. “Laki-laki yang kau
rampas kekasihnya dan yang kini menjadi isterimu!”
Kaget Ranaweleng bukan alang kepalang. Belum dia sempat bicara Saksoko
mendahului.
“Mahesa Birawa inginkan jawabanmu hari ini juga Ranaweleng!”
Kalingundil menyambungi, “Dan sebaiknya….apa yang tertulis di surat itu kau
ikuti saja.”
“Kalau tidak?” tanya Ranaweleng dengan menindih rasa geramnya.ഊKalingundil tertawa mengekeh. Gigi-giginya kelihatan besar-besar dan coklat
kehitaman.
Ranaweleng tak dapat lagi menahan luapan amarahnya. Diremasnya dan dipatah-patahkannya
kayu penyepit surat lalu dilemparkannya ke kepala Kalingundil, tepat
mengenai mulut yang sedang mengekeh itu!
“Bangsat rendah!” hardik Kalingundil. Dia meloncat ke muka. “Kau berani
berlaku kurang ajar terhadapku huh?!”
“Tak usah jual lagak di sini setan!” balas menghardik Ranaweleng. “Kalian
budak-budak sinting kembalilah kepada majikan kalian! Bilang sama itu manusia Mahesa
Birawa agar lekas-lekas pergi mencari dukun untuk mengobati otaknya yang tidak
waras!”
“Betul-betul anjing budak yang tidak tahu diri!” semprot Saksoko. Dari tadi dia
memang sudah beringasan gara-gara si orang tua yang telah mempermainkan dan
setengah menantangnya tadi. Sekali dia ayun langkah maka satu tendangan yang
didahului oleh angin yang hebat melanda ke bawah perut Ranaweleng.
Melihat musuh yang inginkan jiwanya ini Ranaweleng menggeram dan kertakkan
rahang. Dia berkelit ke samping dan hantamkan ujung sikunya ke tulang iga lawan.
Saksoko bukan manusia yang baru belajar ilmu silat kemarin. Sambil melompat ke atas
lututnya ditekuk dan disorongkan ke kepala lawan. Ranaweleng merunduk dan lompat ke
samping. Sebelum dia berbalik untuk mengirimkan pukulan ke punggung lawan yang
saat itu masih belum menginjak lantai langkan maka terdengarlah suara seseorang.
“Ah, Raden Ranaweleng, mengapa musti mengotori tangan terhadap kunyuk
kesasar ini?! Biar aku si tua bangka Jarot Karsa yang kasih sedikit pelajaran sopan santun
terhadapnya!”
Ternyata yang berkata itu adalah orang tua renta kurus kerempeng yang tadi
mencabuti rumput di halaman, yang merupakan pembantu Kepala Kampung Jatiwalu.
Mendengar dirinya dimaki sebagai kunyuk kesasar maka marahlah Saksoko. Dia
membalik dan menyerang orang tua itu kini dengan satu pukulan jarak jauh yang
menimbulkan angin deras. Angin pukulan ini menyerang ke pusat jantung di dada Jarot
Karsa. Dengan begitu Saksoko berkehendak untuk mencabut nyawa si orang tua detik itu
juga!ഊTapi Jarot Karsa ganda tertawa.
Sekali dia gerakkan tangan kanannya yang kurus maka setiap angin dahsyat
memapaki serangan si gemuk pendek Saksoko. Angin pukulan Saksoko menyungsang
balik menyerang Saksoko sendiri. Ditambah dengan dorongan angin pukulan si orang
tua maka kedahsyatannya bukan olah-olah!
Tubuh Saksoko mencelat keluar langkan rumah sampai tiga tombak dan
menggelinding di tanah. Dicobanya bangun kembali. Tapi tubuh itu segera rebah lagi
setelah terlebih dulu dari mulut Saksoko menyembur darah kental dan segar!
Kaget Kalingundil bukan kepalang. Mukanya hitam membesi. Laki-laki ini
menerjang ke depan. Terjangan ini disertai dengan bentakan yang keras menggeledek
membuat langkan rumah dan tanah menjadi bergetar!
Jarot Karsa merunduk cepat. Gerakannya ini disusul dengan cepat oleh
Kalingundil. Serangkum angin keras dan dingin menyerang ke seluruh jalan darah di
tubuh di orang tua. Pasir menderu beterbangan, debu menggebubu.
Jarot Karsa cepat-cepat dorongkan tangan kanannya ke muka. Maka dua angin
pukulan bertemu di udara menimbulkan suara berdentum seperti letusan meriam! Tubuh
Jarot Karsa kelihatan bergoyang gontai sedang Kalingundil terdampar ke tanah tapi cepat
bangun lagi!
Keringat dingin memercik di kening anak buah Mahesa Birawa ini. Nyalinya
menciut kecil. Tak nyana si orang tua memiliki kehebatan demikian rupa! Tak diduganya
sama sekali kalau tenaga dalamnya ada di bawah angin berhadapan dengan tenaga dalam
Jarot Karsa.
Tapi laki-laki ini, yang menjadi buta matanya dan tumpul pikirannya karena
amarah dan kebencian yang meluap, tidak memikirkan lagi bahwa sesungguhnya si orang
tua bukan tandingannya.
Kedua tangannya dipentang ke muka. Tangan itu kelihatan bergetar. Jarot Karsa
dan juga Ranaweleng memperhatikan gerak gerik manusia itu dengan tajam. Kelihatan
kini bagaimana sepasang tangan Kalingundil sampai ke jari-jari tangannya berwarna
kehitaman.
“Ha… ha….” terdengar kekehan si tua Jarot Karsa, “Kau hendak pamerkan Ilmu
Lengan Tangan Baja?!”ഊKalingundil terkejut. Terkejut karena belum apa-apa musuh sudah mengetahui
ilmu simpanan yang paling diandalkannya. Tapi ini tidak diperlihatkannya, bahkan dia
pentang mulut.
“Bagus, penglihatanmu tajam juga huh! Tapi tahukah kau kehebatan ilmu pukulan
Lengan Tangan Baja ini?!”
“Kau tak perlu banyak bacot Kalingundil, majulah!” tantang Jarot Karsa.
Kalingundil menggeram. Kebetulan saat itu dia berdiri di dekat langkan rumah.
Sekali ayunkan tangan kanannya maka:
“Brak!”
Tiang langkan yang besarnya hampir menyamai paha manusia patah. Atap rumah
menurun miring!
Sebenarnya Jarot Karsa kagum juga dengan kehebatan ilmu lawannya itu. Tapi
sebagai orang tua yang sudah banyak pengalaman dalam dunia persilatan masakan dia
jerih menghadapi baru ilmu pukulan macam begitu saja!
“Ayo monyet kesasar, majulah!” katanya dengan terbungkuk-bungkuk.
Kedua telapakan kaki Kalingundil menjejak tanah. Tubuhnya melesat ke muka,
sedikit miring. Kaki kiri dan kaki kanan mengirimkan serangan berantai terlebih dahulu
kemudian menyusul sepasang lengannya yang menghitam oleh aji “Lengan Tangan
Baja”. Angin yang ditimbulkan oleh serangan dua lengan ini dahsyatnya bukan alang
kepalang, tajam dan memerihkan mata. Lengan kiri membabat ke pinggang Jarot Karsa,
kalau kena pastilah pinggang orang tua itu akan terkutung dua. Lengan kanan
menghantam dari atas ke bawah mengincar batok kepala Jarot Karsa. Dapat dibayangkan
bagaimana dalam sekejapan mata lagi kepala si orang tua akan hancur berantakan!
Pekikan setinggi langit yang hampir merupakan lolongan serigala haus darah
melengking menegakkan bulu roma! Kalingundil melingkar di tanah. Nafasnya sesak,
lidahnya menjulur keluar seperti orang tercekik dan matanya melotot. Tubuhnya
bergerak-gerak beberapa lamanya kemudian ketika darah menyembur dari mulutnya,
tubuh itu pun tak bergerak-gerak lagi! Kalingundil pingsan menyusul kawannya yang
terdahulu.ഊRanaweleng menghela nafas dalam. Dipandanginya kedua manusia yang
melingkar di tanah itu. Kemudian dia berpaling pada si orang tua. “Bapak Jarot Karsa,
kau kenal dengan manusia yang bernama Mahesa Birawa itu?”
Jarot Karsa menggeleng.
“Siapa dia tidak penting, Raden. Yang penting ialah mulai saat ini kita musti
waspada karena cepat atau lambat manusia itu pasti datang ke sini untuk membuat
perhitungan dengan kita!”
Ranaweleng mengangguk.
“Aku tak ingin melihat kedua orang ini lebih lama di depan rumahku. Bereskan
mereka, Pak Jarot.”
Si orang tua tertawa mengekeh.
“Tak usah khawatir … tak usah khawatir. Aku akan sapu mereka dari depan
hidungmu, Raden.”
Dua kali kaki kanan Jarot Karsa yang kurus kering itu menendang. Tubuh
Kalingundil dan Saksoko mencelat seperti bola, dan angsrok di luar pagar halaman!.
rumput halaman. Tanpa turun dari kudanya Kalingundil bertanya dengan membentak
kasar.
“Ini rumahnya Ranaweleng?”
Orang tua itu berdiri perlahan-lahan dari jongkoknya. Ketika berdiri nyatalah
bahwa tubuhnya pendek dan bongkok. Ditengadahkannya kepalanya dan dikeataskannya
topi bambu yang menutupi keningnya untuk dapat melihat orang yang telah bicara
dengan membentak itu kepadanya. Orang tua ini tak segera memberikan jawaban
melainkan melirik kepada Saksoko yang duduk di atas punggung kuda di sisi kanan
Kalingundil.
“Orang tua bego!” maki Kalingundil. Laki-laki bertubuh tinggi langsing ini
memang bersifat tidak sabaran. “Aku tanya ini rumahnya Ranaweleng?!”
“Ya!” jawab orang tua itu.
“Ada keperluan apa saudara?”
Si gemuk pendek Saksoko kini yang buka suara. Suaranya parau dan tak enak
didengar. “Tak perlu tanya keperluan kami. Kamu orang tua pikun minggirlah!”
Saksoko menyentakkan tali kekang kudanya. Sekali kuda itu menghambur ke
depan maka terpelantinglah si orang tua kena terjakan kaki binatang yang ditunggangi
Saksoko itu!
Orang tua itu bangun dengan perlahan-lahan. Matanya yang mengabur dimakan
umur kelihatan menyorot. Dengan kaki kirinya ditendangnya secara acuh tak acuh topi
bambunya yang tergeletak di tanah.
Topi itu melesat ke muka laksana anak panah cepatnya dan menghantam
kemaluan kuda yang ditunggangi oleh Saksoko. Kuda jantan itu meringkik dahsyat.
Kedua kaki depannya melonjak ke atas tinggi-tinggi dan Saksoko terpelanting ke tanah!
Si orang tua diam-diam merasa puas. Dengan sikap seperti tidak terjadi apa-apa
dia memutar tubuh, jongkok kembali dan mulai lagi mencabuti rerumputan di halaman!
Bola mata laki-laki gemuk pendek itu berpijar-pijar. Untuk beberapa lamanya
segala sesuatunya menjadi guram dalam pemandangannya.ഊ“Saksoko, ada apa dengan kau?!” tanya Kalingundil terkejut dan heran.
“Aku sendiri tidak tahu,” sahut Saksoko seraya bangun dengan menepuk-nepuk
pantat celananya. Dia memandang berkeliling. Tak ada siapa-siapa kecuali orang tua
yang tadi tengah mencabuti rumput. Kemudian mata laki-laki ini membentur topi bambu
yang terletak tak berapa jauh di tanah. Hatinya curiga. Tapi bila dilihatnya lagi orang tua
kurus dan bongkok itu kecurigaannya menjadi sirna. Tak mungkin, pikirnya. Tak
mungkin kalau kakek-kakek pikun itulah yang telah melemparkan topi bambu itu ke kuda
tunggangannya.
Kalingundil sendiri juga memandang berkeliling dengan hati bertanya-tanya.
Dilihatnya orang tua itu. Dilihatnya topi itu. Kemudian dia berkata:
“Kurasa orang tua kerempeng itu….” Kalingundil memang lebih tajam
penglihatan dan perasaannya. Dalam ilmu silatpun dia lebih tinggi dua tingkat dari
Saksoko.
“Mana mungkin,” kata Saksoko pula tidak percaya.
“Coba kita lihat.”
Kalingundil turun dari kudanya. Diambilnya topi yang terletak di tanah.
Diperhatikannya topi bambu ini seketika. Matanya melirik pada orang tua yang masih
jongkok dan mencabuti rumput dekat pagar halaman. Kalingundil menggerakkan tangan
kanannya. Topi terlepas dari tangan itu dan melesat deras ke arah kepala si orang tua.
Begitu acuh tak acuh sekali, orang tua yang jongkok membelakang itu gerakkan
tangan kanannya untuk menggaruk bagian belakang kepalanya. Dan adalah mengejutkan
kedua orang anak buah Mahesa Birawa atau Suranyali ketika mereka melihat bagaimana
topi bambu itu meleset ke samping dan menggelinding di tanah!
Kalingundil dan Saksoko saling pandang.
“Apa kataku, kau lihat?” desis Kalingundil.
Melihat kenyataan ini maka geramlah si gemuk pendek Saksoko.
“Orang tua edan!” makinya. “Punya sedikit ilmu saja sudah mau kasih pamer!”
Dia membungkuk dan meraup pasir. Raupan pasir itu dilemparkannya ke arah orang tua.
Meski hanya pasir namun karena diisi dengan tenaga dalam maka pasir itu melesat hebat
dan dapat melukakan kulit membutakan mata!ഊSi orang tua tiba-tiba berdiri dan terbungkuk-bungkuk. Ditepuk-tepuknya pakaian
hitamnya seperti seseorang yang tengah membersihkan debu dari pakaiannya. Tapi
gerakannya ini sekaligus membuat berhamburannya pasir-pasir halus yang menyerang ke
arahnya!
“Kurang ajar betul!” damprat Saksoko karena merasa semakin ditantang dan
dipermainkan. Dia menerjang ke muka. Dalam jarak beberapa tombak dilepaskannya
pukulan tangan kosong. Orang tua itu memutar badannya yang bungkuk ke samping.
“Apa-apaan ini?!” tanyanya dengan suaranya yang halus melengking, “ada apa
kau serang aku?!”
Namun gerakannya tadi sekaligus telah melewatkan angin pukulan Saksoko
hanya beberapa jengkal saja di depan hidungnya.
Saksoko kertak rahang.
“Orang tua gelo! Siapa kau sebetulnya?!”
Orang tua itu menyeringai menunjukkan gusinya yang tidak bergigi barang
sepotong pun.
“Aku sudah tua, tak usah bicara memaki!” katanya dan didorongkannya telapak
tangan kanannya ke depan. Setiup angin dahsyat melanda tubuh Saksoko. Kalau tidak
cepat-cepat menghindar pastilah si gemuk pendek ini akan mendapat celaka.
Begitu melompat ke samping segera dia kirimkan satu jotosan ke dada orang tua
itu. Pada saat inilah dari pintu terdengar seruan keras:
“Ada apa ini?! Tahan!”
Saksoko tarik pulang tangannya dan berpaling. Seorang laki-laki muda berparas
gagah dilihatnya keluar dari rumah dan berdiri di tangga langkan. Kemudian dilihatnya
Kalingundil memberi isyarat agar datang mendekatnya. Meski hatinya masih diselimuti
amarah terhadap si orang tua tapi melihat isyarat kawannya itu segera dia datang juga.
Keduanya melangkah ke hadapan langkan rumah.
“Kau Ranaweleng?” tanya Kalingundil membentak.
Selama menjadi Kepala Kampung di Jatiwalu baru ini harilah Ranaweleng
dibentak orang demikian rupa dan oleh orang asing pula! Dari tampang-tampang serta
sikap kedua tamunya itu Ranaweleng segera maklum bahwa mereka tentu datang bukan
membawa maksud baik. Namun demikian dengan suara ramah dia menjawab.ഊ“Betul! Saudara, aku memang Ranaweleng,” lalu tanyanya kemudian. “Saudara-saudara
datang dari mana dan ada keperluan apakah?”
Kalingundil cabut gulungan surat dari balik pakaiannya.
“Ini! Silahkan baca!” katanya.
Gulungan surat itu dilemparkan ke hadapan Ranaweleng. Karena lemparan itu
disertai dengan aliran tenaga dalam maka surat tersebut melesat berdesing dan ujung
kayu di mana surat itu disepit menancap pada tiang langkan!
Ranaweleng kaget. Ditekannya rasa kaget itu dan dicabutnya surat yang
menancap dari tiang langkan lalu dibacanya. Kalingundul dan Saksoko
memperhatikannya dengan bertolak pinggang.
Ranaweleng keparat!
Aku kasih tempo satu hari untukmu agar angkat kaki dari Jatiwalu ini! Bawa
anakmu tapi tinggalkan isterimu! Ini adalah perintah! Kalau kau tidak patuhi, jangan
harap kau bisa melihat matahari tenggelam esok hari! Ini adalah perintah!
Mahesa Birawa
Bergetar sekujur tubuh Ranaweleng. Dadanya panas dikobari luapan hawa
amarah. Dia tak pernah kenal dengan manusia yang bernama Mahesa Birawa itu, bahkan
juga tak pernah dengar nama atau riwayat manusia itu sebelumnya.
Matanya memandang melotot pada kedua tamunya. “Mahesa Birawa ini siapa?”
tanya Ranaweleng.
Kalingundil meludah dahulu ke tanah sebelum menjawab. “Laki-laki yang kau
rampas kekasihnya dan yang kini menjadi isterimu!”
Kaget Ranaweleng bukan alang kepalang. Belum dia sempat bicara Saksoko
mendahului.
“Mahesa Birawa inginkan jawabanmu hari ini juga Ranaweleng!”
Kalingundil menyambungi, “Dan sebaiknya….apa yang tertulis di surat itu kau
ikuti saja.”
“Kalau tidak?” tanya Ranaweleng dengan menindih rasa geramnya.ഊKalingundil tertawa mengekeh. Gigi-giginya kelihatan besar-besar dan coklat
kehitaman.
Ranaweleng tak dapat lagi menahan luapan amarahnya. Diremasnya dan dipatah-patahkannya
kayu penyepit surat lalu dilemparkannya ke kepala Kalingundil, tepat
mengenai mulut yang sedang mengekeh itu!
“Bangsat rendah!” hardik Kalingundil. Dia meloncat ke muka. “Kau berani
berlaku kurang ajar terhadapku huh?!”
“Tak usah jual lagak di sini setan!” balas menghardik Ranaweleng. “Kalian
budak-budak sinting kembalilah kepada majikan kalian! Bilang sama itu manusia Mahesa
Birawa agar lekas-lekas pergi mencari dukun untuk mengobati otaknya yang tidak
waras!”
“Betul-betul anjing budak yang tidak tahu diri!” semprot Saksoko. Dari tadi dia
memang sudah beringasan gara-gara si orang tua yang telah mempermainkan dan
setengah menantangnya tadi. Sekali dia ayun langkah maka satu tendangan yang
didahului oleh angin yang hebat melanda ke bawah perut Ranaweleng.
Melihat musuh yang inginkan jiwanya ini Ranaweleng menggeram dan kertakkan
rahang. Dia berkelit ke samping dan hantamkan ujung sikunya ke tulang iga lawan.
Saksoko bukan manusia yang baru belajar ilmu silat kemarin. Sambil melompat ke atas
lututnya ditekuk dan disorongkan ke kepala lawan. Ranaweleng merunduk dan lompat ke
samping. Sebelum dia berbalik untuk mengirimkan pukulan ke punggung lawan yang
saat itu masih belum menginjak lantai langkan maka terdengarlah suara seseorang.
“Ah, Raden Ranaweleng, mengapa musti mengotori tangan terhadap kunyuk
kesasar ini?! Biar aku si tua bangka Jarot Karsa yang kasih sedikit pelajaran sopan santun
terhadapnya!”
Ternyata yang berkata itu adalah orang tua renta kurus kerempeng yang tadi
mencabuti rumput di halaman, yang merupakan pembantu Kepala Kampung Jatiwalu.
Mendengar dirinya dimaki sebagai kunyuk kesasar maka marahlah Saksoko. Dia
membalik dan menyerang orang tua itu kini dengan satu pukulan jarak jauh yang
menimbulkan angin deras. Angin pukulan ini menyerang ke pusat jantung di dada Jarot
Karsa. Dengan begitu Saksoko berkehendak untuk mencabut nyawa si orang tua detik itu
juga!ഊTapi Jarot Karsa ganda tertawa.
Sekali dia gerakkan tangan kanannya yang kurus maka setiap angin dahsyat
memapaki serangan si gemuk pendek Saksoko. Angin pukulan Saksoko menyungsang
balik menyerang Saksoko sendiri. Ditambah dengan dorongan angin pukulan si orang
tua maka kedahsyatannya bukan olah-olah!
Tubuh Saksoko mencelat keluar langkan rumah sampai tiga tombak dan
menggelinding di tanah. Dicobanya bangun kembali. Tapi tubuh itu segera rebah lagi
setelah terlebih dulu dari mulut Saksoko menyembur darah kental dan segar!
Kaget Kalingundil bukan kepalang. Mukanya hitam membesi. Laki-laki ini
menerjang ke depan. Terjangan ini disertai dengan bentakan yang keras menggeledek
membuat langkan rumah dan tanah menjadi bergetar!
Jarot Karsa merunduk cepat. Gerakannya ini disusul dengan cepat oleh
Kalingundil. Serangkum angin keras dan dingin menyerang ke seluruh jalan darah di
tubuh di orang tua. Pasir menderu beterbangan, debu menggebubu.
Jarot Karsa cepat-cepat dorongkan tangan kanannya ke muka. Maka dua angin
pukulan bertemu di udara menimbulkan suara berdentum seperti letusan meriam! Tubuh
Jarot Karsa kelihatan bergoyang gontai sedang Kalingundil terdampar ke tanah tapi cepat
bangun lagi!
Keringat dingin memercik di kening anak buah Mahesa Birawa ini. Nyalinya
menciut kecil. Tak nyana si orang tua memiliki kehebatan demikian rupa! Tak diduganya
sama sekali kalau tenaga dalamnya ada di bawah angin berhadapan dengan tenaga dalam
Jarot Karsa.
Tapi laki-laki ini, yang menjadi buta matanya dan tumpul pikirannya karena
amarah dan kebencian yang meluap, tidak memikirkan lagi bahwa sesungguhnya si orang
tua bukan tandingannya.
Kedua tangannya dipentang ke muka. Tangan itu kelihatan bergetar. Jarot Karsa
dan juga Ranaweleng memperhatikan gerak gerik manusia itu dengan tajam. Kelihatan
kini bagaimana sepasang tangan Kalingundil sampai ke jari-jari tangannya berwarna
kehitaman.
“Ha… ha….” terdengar kekehan si tua Jarot Karsa, “Kau hendak pamerkan Ilmu
Lengan Tangan Baja?!”ഊKalingundil terkejut. Terkejut karena belum apa-apa musuh sudah mengetahui
ilmu simpanan yang paling diandalkannya. Tapi ini tidak diperlihatkannya, bahkan dia
pentang mulut.
“Bagus, penglihatanmu tajam juga huh! Tapi tahukah kau kehebatan ilmu pukulan
Lengan Tangan Baja ini?!”
“Kau tak perlu banyak bacot Kalingundil, majulah!” tantang Jarot Karsa.
Kalingundil menggeram. Kebetulan saat itu dia berdiri di dekat langkan rumah.
Sekali ayunkan tangan kanannya maka:
“Brak!”
Tiang langkan yang besarnya hampir menyamai paha manusia patah. Atap rumah
menurun miring!
Sebenarnya Jarot Karsa kagum juga dengan kehebatan ilmu lawannya itu. Tapi
sebagai orang tua yang sudah banyak pengalaman dalam dunia persilatan masakan dia
jerih menghadapi baru ilmu pukulan macam begitu saja!
“Ayo monyet kesasar, majulah!” katanya dengan terbungkuk-bungkuk.
Kedua telapakan kaki Kalingundil menjejak tanah. Tubuhnya melesat ke muka,
sedikit miring. Kaki kiri dan kaki kanan mengirimkan serangan berantai terlebih dahulu
kemudian menyusul sepasang lengannya yang menghitam oleh aji “Lengan Tangan
Baja”. Angin yang ditimbulkan oleh serangan dua lengan ini dahsyatnya bukan alang
kepalang, tajam dan memerihkan mata. Lengan kiri membabat ke pinggang Jarot Karsa,
kalau kena pastilah pinggang orang tua itu akan terkutung dua. Lengan kanan
menghantam dari atas ke bawah mengincar batok kepala Jarot Karsa. Dapat dibayangkan
bagaimana dalam sekejapan mata lagi kepala si orang tua akan hancur berantakan!
Pekikan setinggi langit yang hampir merupakan lolongan serigala haus darah
melengking menegakkan bulu roma! Kalingundil melingkar di tanah. Nafasnya sesak,
lidahnya menjulur keluar seperti orang tercekik dan matanya melotot. Tubuhnya
bergerak-gerak beberapa lamanya kemudian ketika darah menyembur dari mulutnya,
tubuh itu pun tak bergerak-gerak lagi! Kalingundil pingsan menyusul kawannya yang
terdahulu.ഊRanaweleng menghela nafas dalam. Dipandanginya kedua manusia yang
melingkar di tanah itu. Kemudian dia berpaling pada si orang tua. “Bapak Jarot Karsa,
kau kenal dengan manusia yang bernama Mahesa Birawa itu?”
Jarot Karsa menggeleng.
“Siapa dia tidak penting, Raden. Yang penting ialah mulai saat ini kita musti
waspada karena cepat atau lambat manusia itu pasti datang ke sini untuk membuat
perhitungan dengan kita!”
Ranaweleng mengangguk.
“Aku tak ingin melihat kedua orang ini lebih lama di depan rumahku. Bereskan
mereka, Pak Jarot.”
Si orang tua tertawa mengekeh.
“Tak usah khawatir … tak usah khawatir. Aku akan sapu mereka dari depan
hidungmu, Raden.”
Dua kali kaki kanan Jarot Karsa yang kurus kering itu menendang. Tubuh
Kalingundil dan Saksoko mencelat seperti bola, dan angsrok di luar pagar halaman!.
No comments:
Post a Comment