mesin pencari

Custom Search

klik sini

Saturday, June 4, 2011

4 BEREWOK DARI GOA SANGGRENG

SATU
Ini! Kata laki-laki berkumis melintang itu dengan suara kasar. “Berikan sama dia! Aku
harus terima jawaban hari ini juga Kalingundil! Kau dengar?”
Orang yang bernama Kalingundil mengangguk. Diambilnya surat yang
disodorkan.
“Kalau dia banyak bacot…” kata laki-laki berkumis melintang itu pula, “bikin
beres saja. Berangkat sekarang, jika perlu bawa Saksoko!”
Kalingundil berdiri dan meninggalkan ruangan itu. Dan bila Kalingundil baru saja
lenyap di balik pintu menggerendenglah Suranyali, laki-laki yang berkumis tebal itu.
“Betul-betul perempuan laknat! Perempuan haram jadah!” Dibulatkannya tinju
kanannya dan dipukulnya meja kayu jati di hadapannya.
“Braak!”
Papan meja pecah. Keempat kaki meja amblas sampai tiga senti ke dalam lantai
ubin dan ubin itu sendiri retak-retak! Kemudian dia berdiri. Tubuhnya menggeletar oleh
amarah yang hampir tak bisa dikendalikannya lagi. Dan mulutnya terbuka kembali. Dia
memaki-maki lagi seorang diri.
“Perempuan keblinger! Ditinggal satu tahun tahu-tahu kawin! Bunting malah dan
punya anak malah! Keparat!” Suranyali berdiri dengan nafas menghempas-hempas di
muka jendela lalu dia melangkah ke meja lain yang juga terdapat di ruangan itu. Dari
dalam sebuah kendi diteguknya air putih dingin. Tapi baru dua teguk air melewati
tenggorokannya, isi kendi itu habis.
“Keparat!” maki Suranyali lagi. Dibantingkannya kendi itu ke tanah hingga pecah
berantakan. Seorang perempuan separuh baya memunculkan kepalanya di pintu sebelah
sana namun melihat Suranyali yang lagi beringasan ia cepat-cepat menghilang kembali.
Akhirnya Suranyali letih sendiri memaki-maki dan marah-marah seperti itu.
Dibantingkannya badannya ke sebuah kursi. Dan kini terasa olehnya betapa letih
badannya.
“Lujeng!” teriak Suranyali.
Perempuan separuh baya yang tadi memunculkan diri di pintu masuk bergegas.
“Ya, Denmas Sura….”ഊ“Kau juga keparat!” damprat Suranyali pada perempuan itu. Ludahnya
menyemprot dan Wilujeng tak berani menyeka ludah yang membasahi mukanya.
“Sudah berapa kali aku bilang jangan panggil aku dengan nama itu! Apa kau
sudah gila hingga lupa terus-terusan?! Kau gila ya hah?!”
Wilujeng terdiam dengan tubuh menggigil ketakutan. Lagi-lagi dia lupa. Lagi-lagi
dia memanggil laki-laki itu dengan Sura padahal sudah sering Suranyali memerintahkan
agar dia memanggil dengan nama Mahesa Birawa.
“Perempuan monyong! Aku tanya kau sudah gila, jawab!”
“Tidak Denmas Su… eh Mahesa Birawa….”
“Kalau tidak gila kau mustinya sinting! Ambilkan aku air, lekas!”
Wilujeng putar tubuh. Sebentar kemudian dia sudah kembali membawa segelas
besar air putih. Air yang dingin itu menyejukkan hati Suranyali sedikit. Kemudian dia
duduk tenang-tenang di kursi itu dan bila matanya dipicingkannya, maka kembali
terbayang saat setahun yang lewat.
Waktu itu dia sudah lama berkenalan dengan Suci. Dia tahu bahwa gadis itu tidak
suka terhadapnya, tapi dengan menemui Suci terus-terusan di tepi kali tempat mencuci
dia berharap lama-lama akan dapat juga melunakkan hati gadis itu. Memang akhirnya
Suci mau juga bicara-bicara melayani Suranyali, tapi ini bukanlah karena dia suka
terhadap Sura melainkan karena kasihan belaka. Tapi celakanya Suranyali salah tafsir.
Dia menduga bahwa kini Suci sudah terpikat kepadanya.
Satu ketika Sura dipanggil oleh seorang sakti di Gunung Lawu. Sebelum pergi
Sura menemui Suci dan berkata: “Suci, aku akan pergi ke Gunung Lawu. Mungkin satu
tahun aku baru kembali. Kuharap kau mau menunggu dengan sabar. Jika aku kembali aku
akan mengawini kau….”
“Tapi Kangmas Sura….”
Suci menghentikan kata-katanya karena saat itu dilihatnya Suranyali melangkah
ke hadapannya dan mengulurkan tangan untuk memeluknya.
Suci mundur.
“Jangan Kangmas. Nanti kelihatan orang….”
Kemudian Suranyali pergi tanpa ada lagi kesempatan bagi Suci untuk
menerangkan bahwa dia tidak suka pada laki-laki itu, bahwa dia menolak lamaran tadi!ഊDan dalam kepergian Suranyali itu maka Suci kemudian kawin dengan Ranaweleng
seorang pemuda yang dicintainya dan juga mencintainya. Bagi Suci perkawinannya
dengan Ranaweleng itu sama sekali bukan pengkhianatan atas diri Suranyali karena
memang dia tidak mencintai Suranyali dan juga tidak pernah menyatakan cintanya.
Demikianlah, bila hari itu Suranyali kembali dari perjalanannya maka kabar
pertama yang didengarnya, yang begitu menyentakkan darah amarahnya ialah bahwa
Suci telah kawin dengan Ranaweleng. Kedua suami istri itu bahkan sudah mempunyai
seorang anak laki-laki. Kehidupan mereka meski sederhana tapi bahagia dan kini
Ranaweleng sudah menjadi Kepala Kampung Jatiwalu.
Jika Suranyali seorang manusia punya muka dan punya harga diri sebenarnya
mengetahui perkawinan Suci itu dia musti bersikap mundur karena adalah memalukan
sekali bila dia terus-terusan menginginkan Suci sedang Suci tidak mencintainya apalagi
kini sudah bersuami dan beranak pula. Tapi dasar Suranyali bukan manusia berpikiran
jernih, lekas kalap dan naik darah membabi buta maka hari itu juga dikirimkannya dua
anak buahnya ke Jatiwalu untuk membawa sepucuk surat ancaman kepada Ranaweleng.
Suranyali yang kini memakai nama Mahesa Birawa bangkit dari kursinya ketika
didengarnya suara gemuruh kaki-kaki kuda di halaman. Dia melangkah ke jendela dan
memperhatikan kepergian kedua orang anak buahnya. Jari-jari tangannya mencengkeram
sanding jendela.
“Suci musti dapat… musti dapat!” katanya dalam hati yang dikecamuk amarah
itu.
“Kalau tidak…” Mahesa Birawa tak meneruskan kata-katanya. Sebagai ganti
tangan kirinya bergerak memukul dinding jendela. Dan kayu sanding itu pecah
berantakan.

No comments:

Post a Comment

klik ini

Entri Populer seminggu