mesin pencari

Custom Search

klik sini

Saturday, June 4, 2011

EMPAT

EMPAT
“Manusia keparat yang tidak tahu diri, hari ini terimalah mampus di tanganku!” bentak
Mahesa Birawa seraya angkat lengan kirinya untuk menangkis pukulan lawan.
Dua lengan beradu keras, Ranaweleng terpelanting ke belakang sedang Mahesa
Birawa hanya terjajar beberapa langkah saja. Lengan Ranaweleng yang beradu dengan
lengan Mahesa Birawa kelihatan kemerahan dan perih. Laki-laki ini menggigit bibir
menahan sakit. Dia maklum bahwa tenaga dalamnya lebih rendah dari lawan. Karena itu
dengan mempergunakan ilmu mengentengi tubuhnya yang sudah sampai ke puncaknya,
Ranaweleng sebagaimana Jarot Karsa tadi bergerak dengan cepat dan melancarkan
serangan-serangan ganas. Namun sampai di mana kemampuan Ranaweleng ini sudah
dapat dijajaki oleh Mahesa Birawa. Ranaweleng tidak lebih digdaya dari Jarot Karsa.
Sementara itu di langkan rumah terdengar jeritan-jeritan Suci pada kedua orang
yang berkelahi itu.
“Suranyali! Kakang Rana! Hentikanlah perkelahian ini! Hentikanlah!”
Suci tidak pernah tahu kalau Suranyali telah berganti nama menjadi Mahesa
Birawa. Dan dia berteriak lagi. “Kalian berdua tidak mempunyai permusuhan, mengapa
musti berkelahi?”
“Suci, masuklah ke dalam!” sahut Ranaweleng kepada istrinya. Saat itu dia harus
jungkir balik di udara mengelakkan pukulan lawannya.
Di pihak Mahesa Birawa sudah barang tentu tiada niat sama sekali untuk
menghentikan perkelahian. Bahkan teriakan-teriakan Suci tadi mendorongnya untuk lebih
cepat menamatkan riwayat Ranaweleng!
Dalam sekejap saja kedua orang itu telah bertempur delapan jurus dan
kelihatanlah dengan nyata betapa Ranaweleng terdesak dengan hebat. Pukulan-pukulan
tangan kosong lawan mengurungnya dari berbagai jurusan. Dengan membentak keras
serta mempercepat gerakannya dan mengandalkan ilmu mengentengi tubuh Ranaweleng
berusaha keluar dari kurungan pukulan lawan. Namun percuma saja. Tubuh Mahesa
Birawa laksana bayang-bayang. Bergerak cepat sekali. Dan pada jurus kesepuluh satu
hantaman sikut kiri yang keras sekali menyambar rusuk kanan Ranaweleng.ഊRanaweleng merintih tertahan. Mukanya kelihatan pucat kebiruan. Dia tahu
sekurang-kurangnya dua dari tulang iganya telah patah dan tubuhnya di bagian dalam
terluka hebat! Untuk beberapa lamanya dia berdiri limbung dengan pemandangan mata
berkunang-kunang.
“Ha, ha ….” Tertawa Mahesa Birawa. “Sebentar lagi Ranaweleng, sebentar lagi
ajalmu akan sampai … Lebih bagus cepat-cepat kau minta tobat pada Tuhanmu sebelum
mampus!”
Mulut Ranaweleng komat kamit. Rahang-rahangnya menggembung. Kedua
tangannya terpentang ke muka. Dia bersiap-siap untuk melancarkan pukulan tangan
kosong yang dahsyat. Di lain pihak Mahesa Birawa berdiri laksana tugu. Kedua kakinya
tenggelam satu senti ke dalam tanah. Tenaga dalamnya dialirkan ke segenap bagian tubuh
untuk menghadapi serangan lawan.
Tiba-tiba jeritan sedahsyat angin putting beliung keluar dari mulut Ranaweleng.
Kedua tangannya bergerak susul menyusul dan gelombang Angin Panas menderu ke arah
Mahesa Birawa. Yang diserang membentak dahsyat dan lompat tiga tombak ke udara.
Begitu angin panas menggebubu di bawah kakinya, membakar hangus pohon-pohon di
belakangnya, maka Mahesa Birawa segera menukik ke bawah laksana seekor elang.
Pukulan Angin Panas yang dilakukan oleh Ranaweleng membutuhkan pemusatan
tenaga dan pikiran yang besar. Beberapa detik sesudah dia melancarkan pukulan tersebut,
keadaan dirinya masih terbungkus oleh pemusatan itu sehingga pada saat lawannya
menukik dari atas dia terlambat menyingkir. Untuk kedua kalinya Ranaweleng harus
menerima hantaman lawan. Kali ini badannya hampir terjungkal ke tanah. Masih untung
dia sempat menggulingkan diri kalau tidak pastilah tendangan kaki kanan Mahesa Birawa
yang mengarah perutnya menamatkan riwayatnya!
Begitu bangun, karena tahu bahwa dia tidak akan sanggup menghadapi lawan
dengan tangan kosong maka Ranaweleng segera cabut keris eluk tujuh dari balik
pinggang!
Tapi betapa terkejutnya Ranaweleng ketika melihat ke muka. Mahesa Birawa
berdiri dengan kedua kaki terpentang. Tangan kiri lurus-lurus ke muka, tangan kanan
diangkat tinggi-tinggi di belakang kepala dan kedua tangan itu sudah menjadi hijau oleh
racun ilmu pukulan Kelabang Hijau!ഊSuci yang telah melihat kedahsyatan pukulan Kelabang Hijau itu menjerit keras.
“Sura! Jangan…! Hentikan perkelahian ini!”
Suranyali alias Mahesa Birawa sunggingkan senyum berbau maut. “Jika kau
punya sepuluh senjata, keluarkanlah sekaligus Ranaweleng” katanya mengejek.
Hati Ranaweleng tergetar hebat. Keringat dingin membasahi badannya. Seperti
halnya dengan Jarot Karsa dia tak akan sanggup menghadapi kedahsyatan pukulan
Kelabang Hijau tersebut. Tapi untuk lari menyelamatkan diri, sebagai seorang laki-laki,
sebagai seorang berjiwa kesatria, tiada ada dalam kamus hidup Ranaweleng. Lebih baik
mati berkalang tanah daripada hidup sebagai pengecut! Lagi pula dia sudah tahu benar
bahwa lawan betul-betul menginginkan nyawanya. Karena itu Ranaweleng ambil
keputusan untuk mendahului menyerang.
Dengan keris sakti di tangan, Ranaweleng menerjang ke muka. Namun tetap sia-sia
saja. Pada detik tubuhnya baru dalam setengah lompatan, tangan kanan Mahesa
Birawa telah memukul ke depan!
Suci menjerit. Tubuh Ranaweleng mencelat mental dan jatuh di tanah tanpa
nyawa. Sekujur kulit tubuhnya bahkan sampai-sampai kepada keris sakti yang saat itu
masih tergenggam di tangannya menjadi hijau oleh racun ilmu pukulan Kelabang Hijau!
Suci menjerit lagi lalu lari menubruk suaminya. Tapi Mahesa Birawa cepat
melompat ke muka dan mencekal perempuan itu. Kalau sampai Suci menyentuh tubuh
suaminya yang mati hijau itu maka dalam sekejapan racun yang menyerap di tubuh
Ranaweleng akan mengalir ke tubuh Suci dan pastilah perempuan ini akan meregang
nyawa pula!
“Lepaskan aku! Lepaskan aku manusia terkutuk! Biadab!” pekik Suci.
“Sedikit saja kau menyentuh tubuh laki-laki itu kau akan keracunan Suci …”
“Aku tidak takut! Aku juga ingin mati …!”
“Kau masih terlalu muda untuk mati …!”
Dan dengan sekali gerakan tangannya maka Mahesa Birawa segera membopong
Suci di bahunya. Karena perempuan itu masih meronta-ronta dan menjerit-jerit serta
memukuli punggungnya maka Mahesa Birawa segera menotok urat darah besar di
pangkal leher Suci sehingga perempuan itu menjadi kejang kaku kini.ഊSambil melangkah ke kudanya Mahesa Birawa memerintah pada ketiga orang
anak buahnya.
“Bakar rumah keparat itu!”
Kalingundil dan Krocoweti serta Majineng segera laksanakan perintah itu. Dalam
sekejapan mata maka tenggelamlah rumah besar Kepala Kampung Jatiwalu itu dalam
kobaran api.
Senyum puas membayang di muka Mahesa Birawa. Bila sebagian dari rumah itu
sudah musnah di makan api maka bersama anak buahnya segera ditinggalkannya tempat
itu.
Jeritan bayi yang baru berumur beberapa bulan terdengar melengking-lengking di
antara kobaran lidah-lidah api yang membakar rumah.
“Bayi itu! Bayi itu ….!” Teriak salah seorang di antara orang banyak yang
berkerubung di halaman rumah Kepala Kampung.
“Oroknya Den Rana….! Aduh kasihan!”
“Kalau tidak lekas ditolong pasti mati!”
Tapi semua orang di situ hanya bisa berteriak dan berteriak. Mana mereka berani
menghambur memasuki kobaran lidah api guna menyelamatkan bayi itu. Dan suara
tangisan bayi semakin lama semakin kecil serta parau sementara nyala api mulai
membakar tempat tidur di mana bayi itu terbaring!
Pada saat suara tangisan bayi yang menyayat hati itu hampir tidak lagi
kedengaran, pada saat orang banyak sudah tak tahu lagi apa yang mesti mereka perbuat
untuk menyelamatkan itu orok maka pada saat itu pula, entah dari mana datangnya
kelihatan sesosok bayangan berkelebat dan lenyap masuk ke dalam kobaran api. Sesaat
kemudian sosok tubuh itu keluar lagi dan melesat ke halaman lalu lenyap di jurusan
Timur. Demikian cepat dan sebatnya sosok tubuh tiu bergerak sehingga tidak satu orang
pun yang dapat melihat siapa adanya manusia tersebut ataukah betul bisa memastikan
bahwa sosok tubuh itu adalah sesungguhnya manusia, bukan setan atau dedemit!
Jangankan untuk melihat wajahnya, untuk memastikan apakah sosok tubuh itu laki-laki
atau perempuan, juga tak satu orang pun yang bisa! Begitu cepat dia datang, begitu cepat
dia lenyap! Hanya warna pakaiannya yang hitam saja yang bisa dilihat mata orang
banyak saat itu. Dan hanya beberapa detik saja sesudah bayangan sosok tubuh itu lenyapഊmaka rumah Ranaweleng yang terbakar itu runtuh ambruk dan lidah api menggelombang
tinggi ke udara!
Siapapun adanya sosok tubuh itu, entah dia manusia atau bukan, entah dia laki-laki
atau perempuan tapi yang pasti dan semua orang di situ tahu bahwa sosok tubuh itu
telah menyelamatkan bayi Ranaweleng dan melarikannya ke arah timur!
Ketika Mahesa Birawa membuka pintu kamar dan membaringkan Suci di atas
tempat tidur dan secara tak sengaja memandang ke dinding, maka meluncurlah seruan
tertahan dari mulut laki-laki ini!
Pada dinding papan kayu jati yang keras itu tertulis rangkaian kalimat yang
berbunyi:
APA YANG KAU LAKUKAN HARI INI AKAN KAU TERIMA BALASANNYA
PADA TUJUH BELAS TAHUN MENDATANG!
Tiada tertera nama dari siapa yang menulis tulisan pada dinding itu. Tulisan ini
dibuat dengan sangat cepat. Dan Mahesa Birawa tahu kalau bukannya manusia yang
mempunyai tenaga dalam luar biasa dahsyatnya pastilah tak akan sanggup membuat
tulisan semacam itu pada dinding kayu jati yang keras, karena tulisan itu dibuat dengan
mempergunakan ujung jari!

No comments:

Post a Comment

klik ini

Entri Populer seminggu